Iman itu bukan hiasan bibir dan juga pemanis kata apalagi sekedar keyakinan hampa. Tapi sebuah keyakinan yang menghujam dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shaleh, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah SWT menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shaleh dalam firmannya : “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar mentaati kebenaran dan nasehat menasehati agar mentaati kesabaran.” (QS Al Asr : 1-3)
Ayat-ayat quraniah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khitab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
Iman yang menshibghah
(mewarnai) akal, hati dan jasad seorang mukmin niscaya ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus pada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Allah SWT berfirman :
(mewarnai) akal, hati dan jasad seorang mukmin niscaya ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus pada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Allah SWT berfirman :
“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?...”(QS Al Anam : 22)
Demikian Allah SWT menghidupkan manusia dengan cahaya islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riil, tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai peradaban dunia.
Rasulullah SAW menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lenah selalu mengkonsumsi makanan terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman.
Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan berpuas diri dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.
Hubungan Sosial
Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad SAW mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda :
“Takwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlak yang hasan.”
Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasaaslah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi’ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan lingkungan dakwah, lingkungan sosial, lingkungan pengajaran yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran islam. Bagaimana Rasulullah SAW melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Rasulullah SAW juga menyeru bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit shofa : “ Wahai bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai bani Ka’ab, selamatkanlah dirimu dari api neraka...., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka..”(Imam Muslim)
Selain itu beliau juga telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum masa kenabian seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan yang terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul, kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terdhalimi dan pembangunan Ka’bah.
Kehdupan Sosial
Interaksi kita yang berujung pada kepedulian sosial, mengharuskan kita untuk terlibat penuh dengan segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya dilakukan seorang mukmin disaat membutuhkan mereka dan ketika ada kepentingan. Akan tetapi kapanpun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai arahan Rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfaat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori qaumun ‘amaliyyun (kaum yang aktif bekerja) dan mendambakan identitas mukminiin haqqan (mukminin sejati).
Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi da’awi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakat, yang mengharuskan dia membawa obor tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes. Dimensi ukhrawi yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf, tafaahum dan takaaful dalam kanvas ukhuwah Islamiyah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim-piatu). Rasulullah bersabda :
“Saya dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah)”(Imam Al-Bukhari)
Dan dimensi ta’rimi wa tarbawi (pengajaran dan pengkaderan) yang mengharuskannya berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan keluarganya. Allah SWT berfirman :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran : 104)
Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan kepedulian sosial yang dilandasi oleh iman yang hidup dan produktif dalam diri kita. Allahu a’lam
0 comments:
Posting Komentar